Bewara  

Mengenal Kujang, Senjata Pusaka & Identitas Urang Sunda

Proses penempaan kujang. (Dok. Teddy Permadi)

Sumber lainnya yaitu Pantun Bogor ataupun babasan seperti kujang dua pangadékna dan sebagainya. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten, dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Adapun pendapat dari pemerhati kujang Tedi Permadi yang juga Dosen di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Teddy menyampaikan bahwa kujang dimaknai juga sebagai “kukuh kana jangji”.

“Masyarakat Sunda mempunyai cara dan ciri berpegang teguh pada janji. Yakni janji dalam berucap, janji dalam berperilaku, dan janji dalam menyikapi kehidupan. Itu yang dipegang. Namun makna tersebut mulai luntur seiring perubahan zaman dan adanya interaksi dengan budaya luar. Akhirnya, kujang semata-mata hanya dipahami sebagai senjata dan perkakas. Bahkan, kesadaran akan kujang di tengah masyarakat sempat hilang beberapa periode,” paparnya.

Berdasar catatan sejarah, kujang terbentuk dari budaya masyarakat Sunda pra modern, dan senjata tersebut dibuat oleh masyarakat huma atau masyarakat berkultur peladang. Dengan perkembangan kemajuan teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna.

Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Namun sebagai sebuah pisau, kujang tampil begitu estetis sehingga memiliki daya pikat, tidak mengintimidasi mata dan perasaan penikmatnya.